Ngapain sih lo traveling?



*uhuk*

Halo para backpacker-backpacker keceh..

Bukan... bukan... foto yang ada di atas itu bukan foto gue kok. Gue belom pernah ke Raja Ampat, kesian yah!

Itu foto Bang Regy, pas dia terpilih jadi salahsatu petualang ACI detik.com, sama kek gue.

Jadi..

Kali ini gue mau cerita sedikit nih tentang pengalaman gue selama backpacker-an. Ini akan menjadi tulisan serius yang bakalan bikin kalian dan gue sendiri mikir...

Berawal dari sebuah twit dari Bang @regycleva, rekan gue pas ikut ACI detik.com, tentang sebuah tulisan di blognya. Akhirnya gue iseng klik link-nya dan gue baca tentang sebuah artikel yang di buat kak Diana, temen seperjalanan Bang Regy pas ikut ACI ke Raja Ampat. (Nyet, ribet banget yah gue ngenalin-ngenalinnya.) Pokoknya Bang Regy dan Kak Diana ini adalah rekan gue di ACI detik.com~

Terus..

Nah di postingan itu gue baca..

Sorga Atau Neraka Raja Ampat, oleh @kebobunting 

Siapa yang tidak pernah mendengar Raja Ampat yang terkenal dengan sorga bawah lautnya? Seluruh media, baik cetak maupun televisi, baik nasional maupun internasional, semuanya meliput mengenai Raja Ampat.

Saya melakukan survey kecil-kecilan kepada teman-teman saya. 7 dari 10 orang yang saya tanyakan, menjawab Raja Ampat sebagai dream destination mereka.

Dua tahun terakhir ini, Raja Ampat memang menjadi buah bibir para traveler dan diver di seluruh dunia. Semua orang berlomba untuk dapat berlibur ke Raja Ampat, tidak terkecuali Pangeran Monaco. Tanggal 5 sampai 12 Desember 2010 yang lalu, Pangeran Albert II dari Monaco berserta rombongan mengunjungi  Raja Ampat dan dibuat terpesona akan keindahannya.

Selama 2 minggu lebih menjelajahi Papua Barat, saya melihat betapa kayanya negeri kita. Sebuah sumber daya alam yang membuat iri negara manapun di dunia. Keindahan Raja Ampat membuat para investor asing tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka berlomba-lomba untuk mendirikan resort mewah dengan harga jutaan rupiah permalamnya.

Buat saya tidak ada yang salah dengan semua itu. Saya percaya, betapa mempesonanya negeri kita ini, hingga siapapun yang datang ke Indonesia merasa menemukan ‘rumah’ mereka. Tidak sedikit orang asing yang bahkan lebih Indonesia daripada orang Indonesia sendiri. Kecintaan mereka untuk melestarikan budaya negeri kita dan kekayaan alam Indonesia, patut ditiru dan diacungi jempol.

Tetapi…

Tetap saja ada sesuatu yang mengganjal pikiran saya.

Saya bertanya-tanya, “Mengapa kemajuan pariwisata di Papua tidak berjalan beriringan dengan kesejahteraan masyarakat Papua itu sendiri?”

Selama 2 minggu lebih menjelajahi Papua Barat, saya melihat seuatu yang sangat kontras dengan semua keindahan dan kekayaan tanah Papua yang saya tulis. Sebagian besar penduduk Papua hidup dalam kemiskinan. Baik miskin secara materi ataupun miskin secara ilmu.

Dengan adanya resort-resort mewah, tambang dan lembaga-lembaga konservasi di Papua, ternyata sedikit sekali kontribusi yang diberikan untuk kesejahteraan penduduk setempat. Kebanyakan kampung-kampung di Papua masih sangat minim sarana pendidikan dan kesehatannya.

Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri.

Anak-anak dengan ingus menggantung di hidung mereka, memakan karbohidrat dengan lauk karbohidrat juga.

Rumah-rumah yang tidak layak dihuni (menurut saya).

Rumah-rumah yang tidak memiliki kakus dan penghuninya harus berjalan ke toilet umum terdekat untuk buang air dan mandi.

Anak kelas 5 SD yang tidak bisa baca tulis.

Seorang anak yang harus berjalan jauh berkilo-kilo meter melewati hutan untuk dapat bersekolah.

Seorang anak yang tidak memiliki ibu karena meninggal saat berjuang untuk melahirkan.

Ah, masih banyak cerita mengenai kemiskinan di Papua, saya bisa menceritakannya sefasih saya menceritakan mengenai keindahannya. Saya seperti menemukan neraka berada di tengah-tengah sorga.

Sepulang dari Papua Barat, saya merasa punya PR yang saya tidak tahu bagaimana menyelelesaikannya. Menurut saya masalah ini adalah PR untuk kita semua. PR untuk pemerintah, PR untuk para investor asing maupun lokal, PR untuk pengusaha-pengusaha tambang, PR untuk para traveler, PR untuk semua yang mengaku ‘Aku Cinta Indonesia.”
Saya di sini bukan untuk menggurui, hanya ingin berbagi.

Mungkin tulisan saya terdengar berlebihan, sok tau, sok idealis atau menjurus ke naif.

Entahlah…. Saya hanya merasa saya perlu untuk menulisnya karena sejujurnya dengan segala keterbatasan saya, tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu mereka kecuali dengan menulis.

Mungkin dengan tulisan ini ada orang-orang yang tergerak hatinya untuk menjadi tenaga pendidik atau medis di Papua?

Atau mungkin ada yang memiliki dana lebih untuk membantu mendirikan sekolah atau klinik di sana?

Atau mungkin dari pemerintah ada yang tergerak untuk meninjau ulang dan melakukan sesuatu mengenai fasilitas pendidikan, kesehatan dan juga lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sana?

Atau para traveler ada yang mau mencoba eco pariwisata berbasis masyarakat lokal di Papua? Seru lho!

Atau mungkin cukup dengan berbagi mengenai tulisan ini di Facebook atau Twitter.

Sarah Diana Oktavia.

******************************** Batas tulisan Kak Diana*********************************

*hening 3 bulan*

Miris gak lo bacanya?

Sedih gak lo bacanya?

Nganga gak lo bacanya?

Jadi bikin mikir gak lo bacanya?

Baca gak lo?


Ok. Bagus kalo baca. Dan setelah baca itu, ada sekelebat pertanyaan yang terlintas di pikiran gue, sebuah pertanyaan yang bikin gue balik lagi mengingat-ingat perjalanan yang udah gue lakuin. Mengingat-ingat lagi, pengalaman apa yang udah gue dapetin selama traveling, sehingga muncul pertanyaan “Lo, traveling buat apa, sih?”

Kemudian gue berpikir...

*hening lagi 2 bulan*

Ingatan gue kembali me-visualisasi-kan saat gue backpacker-an ke pulau Derawan. Saat gue pertama kali datang ke Derawan, yang pertama kali gue liat adalah resort-resort mewah menghadap pantai, dengan anjungan-anjungan dan bangunan-bangunan megah yang mereka punya. Tentu sebagai backpacker gembel, gue gak mampu buat tinggal di resort-resort mewah itu. Lah, buat makan aja susah. Dan akhirnya, gue masuk ke perkampungan Derawan yang tepat berada di tengah pulau tersebut. Gue nanya-nanya harga sewa kamar hotel di sana, gue kelilingin semua penginapan yang ada di sana, dan harganya memang mahal, Rp. 100.000,- keatas.

Gue bingung, karena duit gue cuma cukup buat transportasi balik aja waktu itu. Akhirnya setelah capek keliling dan hari sudah mulai malam, gue duduk si satu pohon besar di ujung perkampungan itu untuk istirahat. Tetiba, ada seorang bapak-bapak lagi naik motor dan berhenti di depan gue. “Mau kemana, dek?” tanya si bapak itu.

“hemm... gak tau nih, pak.” jawab gue sambil senyum dan garuk-garuk kepala. Kepala si bapak.

“Yaudah, sini naik motor. Ikut bapak.”

“Eh, kemana, pak?” Tanya gue curiga. Wajar dong, yakali gue takut disekep terus entar di bunuh. Tapi naluri backpacker gembel gue muncul, “yah daripada gue gak tau mau ngapain dan kemana, mending gue ikut sama si bapak.” Ucap gue dalam hati.

Akhirnya gue naik ke motornya, dan ternyata si bapak ngajak gue ke rumahnya.

“Silahkan masuk, dek. Kamu istirahat di sini aja dulu. Taro tas-nya di sini.” Ucap si bapak sembari membukakan pintu kamar.

“Ini kamar anak saya, cuma karena dia lagi ke Samarinda, jadi kosong. Kamu istirahat di sini aja. Kalau mau ke kamar mandi ada di sana yah.” Si bapak nunjuk ke sebuah kamar mandi. Yaiyalah yah, masa kamar mayat.

Ok, lanjut...

“Lah, serius nih, pak? Gak apa-apa?” Tanya gue.

“Gak apa-apa kok, dek. Kasian adek, saya liat dari tadi muter-muter kampung terus kayak orang bingung. Hahaha” Si bapak ketawa. Dan ternyata dari tadi dia perhatiin gue keliling kampungnya.

"Istirahat aja di rumah bapak. Udah makan? Ada ikan sama nasi di dapur, klo mau makan aja." Dan gue cuma bisa ngangguk.

Singkat cerita, nama bapak itu adalah Pak Ading. Beliau adalah seorang tokoh pemuka di Kampung Derawan. Dari lahir Pak Ading sudah tinggal di Derawan, dan dia tau banget seluk beluk tentang Derawan. Gue beruntung!

Selama 5 hari tinggal di rumah Pak Ading, gue dapet banyak banget cerita tentang Derawan. (Actually, gue udah pernah share cerita ini di twitter, tapi karena gue blogger, maka kurang afdol rasanya kalo gue gak sharing juga di blog. Muahahaha)

Dari Pak Ading, gue dapet cerita tentang suku bajo, penangkaran penyu, penanaman terumbu karang, pembuatan hutan mangroove dan sampai akhirnya Pak Ading cerita tentang kondisi pulau Derawan dulu.

Dulu, di sekitar Derawan, ada sebuah pulau kecil cantik yang sering digunakan oleh para wisatawan bule untuk berjemur. Waktu tempuh ke pulau itu gak jauh, cuma 10-15 menit menggunakan speed boat. Gue ditunjukin Pak Ading pulau itu, namun apa yang gue liat hanya bentangan laut luas kosong. Ternyata, pulau itu sudah hilang, pasirnya diambil dan dikeruk untuk dijual oleh pemerintah setempat. Pulau itu hancur.

 derawan yang tidak seindah dulu

Dulu, lo gak usah jauh-jauh berenang ke tengah laut buat liat terumbu karang cantik. Cukup beberapa meter aja dari bibir pantai. Sekarang? Hancur.

Dulu, puluhan penyu datang ke bibir pantai buat cari makan atau bertelur. Sekarang? ada dua-tiga aja udah untung. Tempat mereka sudah hancur.

Dulu ada hutan mangroove di derawan, pak Ading yang nanem. Sekarang? Hancur. Karena gak ada biaya buat ngerawatnya. Pemerintah gak bantu.

Dulu, para wisatawan senang mengunjungi Derawan, sekarang? Derawan udah gak cantik. Mereka lebih memilih Maratua. Derawan sepi.

Dan dengan sejujur-jujurnya, mata Pak Ading memerah saat menceritakan itu. Ada air mata jatuh membasahi pipinya. Pak Ading bilang, "Saya udah tinggal disini dari kecil. Besarin anak-anak disini. Dan sekarang saya nunggu Derawan ini hancur."

Gue cuma bisa menunduk..

Siapapun yang baca artikel ini dan mau ke Derawan, please, titip salam rindu gue sama Pak Ading. Bilang, suatu saat gue bakalan berjumpa lagi dengan beliau dan membawa sesuatu untuk Derawan yang beliau, gue, atau kalian cintai.

Gue yakin. Pak Ading udah berusaha sekuat tenaga buat melestarikan pulau Derawan. Tapi, kalau cuma beliau sendiri?

****************************** Batas tulisan gue tentang Derawan *************************

Overall, selama perjalanan gue di Kalimantan Timur, gue sangat disambut baik oleh masyarakat lokal. Selama 15 hari di Kalimantan, gue cuma ngabisin uang gak lebih dari Rp. 600.000,-. Untuk makan, minum dan tidur pun gue gak pernah ngeluarin duit. Di Derawan, gue tidur di Pak  Ading, makan di Pak Ading, minum di Pak Ading, hoping island sama Pak Ading juga. Beruntungnya gue ketemu orang seperti Pak Ading. He is my savior, indeed!

Di Kalimantan, gue merasakan negeri Indonesia yang ramah tamah. Pernah di Tanjung Selor (kalo namanya gak salah) gue ngetuk pintu satu rumah untuk minta segelas air minum, yang gue dapat bukan cuma segelas air minum doang, sob. Gue dapet sepiring nasi beserta lauknya. Inilah Indonesia yang gue baca di buku PPKN dulu semasa SD.

Balik lagi ke masalah “api dalam sekam” di tempat-tempat wisata Indonesia, di balik semua kecantikan yang Raja Ampat, Derawan, Pulau Weh, dan masih banyak lagi tempat cantik lainnya, ternyata ada kisah kelam tentang para warga lokalnya yang jauh dari kata sejahtera. Jadi kayak semakin naik pamor tempat pariwisata itu, semakin tidak sejahtera lah warganya. Walaupun, iya.. gue akui banyak juga destinasi pariwisata yang bikin warga lokalnya maju, contoh : Bali.

Tapi, balik lagi, kita sebagai traveler, backpacker, wisatawan, turis atau apapun sebutannya, pernah kah kita berpikir, “Ngapain sih kita traveling?” Foya-foya? Menikmati alamnya? Melihat keindahannya? Foto-foto? Kemudian pergi...

Traveling is about take and give.

Setelah lo puas meng-explore keindahannya, mengambil foto-fotonya, apa yang lo berikan ke tempat itu? Apa yang lo berikan untuk masyarakatnya?
Dan semua pengalaman ini bikin gue sadar.

Dari Pak Ading gue belajar, traveling bukan hanya foto-foto terus lo pulang.

Dari Pak Ading gue belajar, traveling bukan hanya haha hehe terus lo pulang.

Gue bersyukur karena memilih backpacking sebagai style gue jalan-jalan. Dengan begini, gue lebih bisa berbaur dengan warga lokal, merasakan kearifan lokal mereka.

Dengan backpacking gue bisa lebih menghargai perjalanan, bukan hanya datang lalu pergi tanpa membawa sebuah cerita. Karena, dari menjadi backpacker juga gue bisa bertemu dengan banyak orang dengan kisah-kisahnya yang menginspirasi, kemudian bisa gue share di blog ini. Kalimantan adalah trigger gue untuk terus backpacker-an.

Percaya sama gue, siapa pun kalian dan apa pun kalian di tempat asal kalian. Saat backpacking, kalian akan menjadi pribadi kalian yang terbaik.

Dan jujur, sama dengan Kak Diana di ceritanya tentang Raja Ampat, tidak banyak yang bisa gue lakuin juga, dengan segala keterbatasan, gue dan Kak Diana hanya bisa menuliskannya.

Jadi, ngapain sih lo traveling?

P. S. : thanks to Kak Diana (@kebobunting) dan Bang Regy (@regycleva)

65 komentar:

  1. Tumben topik postingan Adis kali ini kaya pembicaraan om-om dewasa hehe...piss..

    Dulu jaman masih SD gue kalo travelling terkesan liat objek penting,jepret2 trus pulang...Tambah tua dan nyaris jadi om-om, makin melek dan miris liat alam indah Indonesia yg nggak nyambung sama masyarakat setempatnya :(
    Ada pengalaman di Labuan Bajo yang masyarakat setempatnya jauh dari kata makmur dan kaya. Banyak dibangun hotel mewah di pinggir pantai tp itu kepunyaan investor asing,bukan penduduk setempat. TN Komodo yg jelas menghasilkan duit makin banyak stelah promo gila New7Wonder ya nggak ngefek dgn kemajuan ekonomi masyarakat, buktinya jalan raya di Labuan ke pelosok desa masih menggenaskan :( #merenung.
    Cuma ekonomi si investor dan pemda yg makin bertambah nolnya di buku tabungan... Jadi...#tanyakenapa

    BalasHapus
    Balasan
    1. bahahahahahak.. lagi waras sih ini :))))))))

      Sebenernya banyak yang kaya begini, cuma gak terekspos, makanya kita perlu jalan-jalan buat liat sendiri gimana sih keadaan Indonesia sebenernya yang katanya cantik itu~

      Hapus
  2. sekarang sih traveling karena pingin tahu dan belajar dari tempat yang baru saya injak. Sambil sharing, dengan harapan bisa sedikit membantu perekonomian tempat tadi karena saya sharing. Nah! kalau ngomongin traveling atau traveler indonesia, belum banyak tuh yang namanya traveling secara responsible, termasuk saya yang kadang suka lupa :p udah waktunya kali ya, para travel blogger gak cuma nulis yang indah - indah tanpa disisipi pesan moral di dalamnya :) mari dimulai :D *Travel Blogger Unite!*

    BalasHapus
    Balasan
    1. yups! responsible itu yang penting! mantaaaaaaap~

      Hapus
  3. Mau nanya dong dis, pencapaian apa yang pingin banget lu capai dari pertama kali lu backpack sampe sekarang belum terwujud?

    BalasHapus
    Balasan
    1. gue pengin bikin backapcker area di Bandung! muehehehe

      Hapus
  4. Kita hanya numpang tinggal aja di negeri indah ini, jadi selagi izin tinggal kita masih belum habis tugas kita adalah menikmati keindahan itu sepuas-puasnya.

    BalasHapus
  5. Adis bikin mewek :'( Tumben lo waras dis :'(

    BalasHapus
  6. nangis saya bacanya dis.. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. INI KENAPA JADI BANYAK YANG NANGISSSSSS!!

      Hapus
  7. Keren kak =D tapi jadi terharu, sama aja kayak Balii, terlalu dieksplor dan lingkungannya jadi rusak :'(

    BalasHapus
  8. kapan ya pariwisata maju penduduk sekitar juga bisa merasakan dampak dari kemajuan tersebut.. :(

    BalasHapus
  9. speechless dah...
    Gue sebagai orang kalimantan malu gak pernah ke derawan, dan lebih malu lagi, karena di kalimantan gue gak bisa apa apa liat alam indonesia dihancurin, mulai dari penebangan liar yg ilegal sampai pengerukan batubara yang legal...

    BalasHapus
    Balasan
    1. bro, gue kasih tau. Kan lu di Kalimantan nih, nah mending lu nyamar jadi pekerja tambang gitu, masuk ke kantor boss nya, bawa bom, terus ledakin tempat itu. Beuh, mantep itu!!

      Hapus
  10. tumben banget dis tulisannya agak serius :-P
    btw, miris banget liat cerita tentang papua itu,, kaya alam, banyak investor asing yang bikin cottage" mewah, eh ternyata masyarakat sekitarnya miskin"..
    apalagi anak" kecil itu, masa makannya karbohidrat doank?? mana pendidikannya belom terjamin. jd pngin kesana buat ngajar mereka.. wkwkwkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. yaelah, serius udah lama bubar!! :))
      bener yee, sok sana ngajar kesana~

      Hapus
  11. Artikel yang mencerahkan para backpacker, travel writer, turis dll.

    BalasHapus
  12. wuidiihh...malaikaaat..keluar dr tubuh adis skr juga..!!!hahaha..

    oke..serius nih skr.Entah knp gw jg udah mulai ngerasaian ini di kota asal gw di Palu.Pembangunan dimana2 tp ya itu pembangunan yg ada setara dengan pengrusakan yg dilakukan.Hix..sedih ngeliatnya pas lebaran kmaren sama keluarga jalan2 dr Sulawesi Tengah ke Sulawesi Barat trus ngeliat bukit2 yang hampir habis dikeruk.Pasir2 di pantainya jg habis dikeruk. ;-(

    Entah 10thn lagi mungkin Togean nasibnya bakal sama kyk Raja Ampat or Derawan??gw ga mauuuuuu...:-(

    BalasHapus
  13. ayo ke papua bro..sy sudah 3 bulan tinggal dsini..bela2in supaya pernah kesini..rasakan sendiri papua..:)..blm telat..hehehe

    BalasHapus
  14. kenaa bgt... :(
    langsung mikirr,

    BalasHapus
  15. Hati gue terenyuh bacanya. Aseli! Miris banget :'(

    BalasHapus
  16. dis lo berani ga naik haji dengan cara backpackeran lewat jalan darat?
    kalo lo bisa, salut banget dan lo backpacker sejati :peace :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berani! Nanti kalo gue udah selesai kuliah penginnya begitu :')

      Hapus
  17. great articel :)
    keren bang , bikin merenung banget :')

    BalasHapus
  18. Neraka di tengah surga sepertinya berlebihan banget utk menggambarkan Papua. Semua kejadian yang digambarkan terjadi di Papua itu terjadi lebih parah di pulau lain di Indonesia, di Jawa misalnya; orang hrus bekerja sangat keras dan mendapat sedikit sekali uang, banyak pengemis, banyak jg yg sehari-hari hanya bisa makan nasi aking..Di Papua, tidak ada orang yg mengkonsumsi nasi aking; pengemis pun tidak ada. Memang benar dengan kekayaan alam dan potensi pariwisata seperti itu harusnya tingkat kesejahteraan masyarakat lebih baik tetapi sebagai penulis anda harusnya bisa lebih objektif dalam melihat kondisi sosial seperti itu dan tidak berlebihan dalam menggambarkan sesuatu. Bukankah jawa juga adalah neraka, gedung tinggi dan hotel2 mewah di antara kawasan kumuh, orang yang hidup di rumah karton??

    BalasHapus
  19. Hwaaa gw baru baca postingan lo yg sedih begini,jadi ikutan sedih.. :"( gw jadi inget sma program Indonesiaku di trans 7 yg gw liat tiap sore *ehh bkn iklan, ttg tmpat2 pariwisata yg indah di negri ini tp kesejahteran penduduk stempatnya krg bgt,saran gw si buat smua traveler/backpacker dkk supaya klo lg traveling ga cuma seneng2 aja,tp senggaknya ada yg bisa kita bantu sedikit contohnya bagi2 buku or apa gitu... mungkin sedikit menurut kita tp bwa perubahan besar untuk mereka..

    BalasHapus
  20. Bali.
    Gak sedikit tempat hiburan disana yg ngelarang turis-lokal masuk pake sendal jepit, sedangkan turis-asing dipersilahkan masuk walaupun nyeker dan cuma pake sempak. Turis-lokal harus bayar uang masuk, turis-asing gratis. Penduduk-lokal juga gak lebih dari sekedar 'pesuruh' disana.
    Sepakat dengan Jerinx SID; tinggal nunggu Bali hancur sampai investor asing cabut dan nyari tumbal baru.

    Papua.
    Itu mengapa saya mendukung gerakan Papua Merdeka (Free West Papua). Tanpa disadari para nasionalis, impian mereka sama dengan membunuh Papua dan rakyatnya pelan2. Di-eksploitasi pemerintah indonesia keparat ini untuk kepuasan birahi berkuasa tuannya.

    "Jangan tanya apa yang sudah kau lakukan untuk negaramu. Tapi tanyakan, apa yang sudah negara curi darimu."

    BalasHapus
  21. Saya juga pernah ke Tanjung Bira di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pantainya sangat indah, dan alam bawah lautnya juga luar biasa. Hanya saja belum dikembangkan oleh Pemda setempat sehingga kelihatan kumuh. Sementara para turis (termasuk saya) tidak ambil pusing dengan keadaan tersebut, yang penting kita nikmati alamnya, foto-foto dan pulang. Sementara masyarakat disana tetap tertinggal. Bingung juga hendak berbuat apa, mungkin menulis seperti yang gembel lakukan adalah salah satu cara menggugah orang lain. Thanks backpakcer gembel udah diingetkan..

    BalasHapus
  22. menarik, , , tidak heran melihat hal itu terjadi di Indonesia. aku juga sering memikirkannya, dan juga menuangkan pikiran serta solusi yang sama seperti kang adis tuliskan di atas.

    saya berasumsi, bahwa. Memang kesadaran berwirausaha di daerah (khususnya di luar pulau Jawa) masih sangat kurang. bagaimana mereka akan berfikir pendidikan, mengembangkan eco wisata, dan pemikiran-pemikiran kompleks semacam itu kalau masih mikir tentang esok makan apa.

    kebetulan saya juga apatis dengan pemerintah daerah. karena tidak semua pemerintah daerah cerdas dan memiliki visi pembangunan berbasis local genius. karena pada dasarnya, mereka berasal dari masyarakat berperut kempis juga sebelum rakus membuncitkan perut.

    daerah2 tersebut memang membutuhkan tokoh, pemuda, independen, berjiwa wirausaha tinggi, dan nasionalis untuk membimbing daerah tersebut dari jalan kegelapan.

    sebagai pemuda kreatif saya kira hal yang bisa kita lakukan melalui tulisan adalah. mengangkat isu ini ke media massa nasional dan menggerakkan hati nurani lebih banyak orang.

    bagaimana bang adis? berani mencoba tantangan menembus media nasional dengan mengangkat tema tersebut?

    BalasHapus
  23. ini deh yg selama ini ngeganjel dipikiran gue,investor asing itu rampok
    mengapa di indonesia pariwisatanya(alam) dibiarin gak keurus?
    dan gue baru nyadar,bahwa org indonesia memang udah dri sononya suka yg alami,yaitu hidup berdampingan dgn alam

    BalasHapus
  24. Alangkah baiknya kalau kita semua melakukan yg terbaik yg bisa kita lakukan ... secara bersama sama. Ane baru trip ke Raja 4 akhir Agt 2013 lalu. Apa yg Adis katakan ttg kondisi masyarakat di sana, ane saksikan sendiri dan sdh tim kami prediksi stlh mendapat info dr bbrp sumber. Oleh sebab itu dlm trip ini kami juga mengadakan baksos yg mungkin nilainya ga seberapa ( tp cukup menguras budjet )...

    Ayo ... lakukan yg terbaik yg kamu bisa, utk saudara2 kita di manapun itu ....

    BalasHapus
  25. boleh pinjam bahumu ? :'(

    BalasHapus
  26. boleh pinjam bahumu ? :'(

    BalasHapus
  27. Dis ,loe sangan beruntung punya perjalan seperti itu,, gw ire dengan perjalanan loe,
    gw kira kali ini sangan menyentuh hati gw ,,hahahahah faaaaaaaaaaaaaaaaak..
    kalo syukuran panggil gw wkwkkwwkkwkwkw

    BalasHapus
  28. dis, gue mau tanya...!! loe pertama kali backpaker umur brp ?

    BalasHapus
  29. kak, aku mau tanya, pernahkah seseorang di sekelilingmu melarang bahkan ada yang gag suka dengan hobi kamu sebagai traveler? sedikit berbagi cerita saja, jujur aku suka bepergian, aku suka mengunjungi tempat dimana belum pernah aku kunjungi, karena itu adalah caraku mensyukuri ciptaanNya, bukankah sangat luar biasa ciptaanNya, dan apa salah jika kita mencoba menikmatinya?
    Aku pernah ditinggalkan oleh orang yang aku sayangi, hanya karena aku suka bepergian, dan itu membuat aku bertanya, apa salahnya jika aku suka bepergian. tulisan yang sedikit waras ini membuat aku sedih, hiks :"(

    BalasHapus
  30. Hellooo, Aku orang Tanjung Selor. Aku baru baca postingan ini... :D
    Thanks for visited my little city ^^

    BalasHapus
  31. Keren postingan nya!! terharu. banyak banget pelajaran yg bisa kita ambil untuk tetap keep safe our tourism in indonesia. emang banyak bgt tempat2 wisata khusus nya PANTAI yg rusak. salah satunya Pulau Sempu yg dimalang itu sebenernya cagar alam. tp karena banyak org2 prg kesana dan upload foto mrk yg narsis2 itu jd banyak yg berkunjung dan sampah pun berserakan dimana2 (saat gue baca salah stu blogger tentang sempu) (y)

    BalasHapus
  32. salan kenal,.. nice post.. saya hanya berkutat keliling jember, kota kecil berhati luas.. miris mendengarnya, prihatin..

    salam,..

    klo ditanya, knapa keliling, jalan-jalan, travelling, blusukan, naik gunung??? jawabnya: masih belum tahu kanapa saya jalan-jalan, travelling, dsb.. makanya saya masih jalan-jalan, keliling, dsb... meski sekrang udah jarang,.. padahal masih belum tahu knpa saya suka naik gunung, bluskan alas, keliling, jalan-jalan....

    salam,...

    BalasHapus
  33. traveling ke raja ampat sepertinya menyenangkan

    BalasHapus
  34. Hai Dis,
    waktu di Derawan gue sempet ngobrol dengan seseorang yang namanya Pak Ading. Gak tau kita bertemu dengan Pak Ading yang sama atau gak ya. Gue ngobrol dengan beliau saat terjebak hujan di pelabuhan Pulau Derawan. Beliau punya boat dan lagi menunggu penumpang yang mau nyebrang ke Berau. Gue juga dapet cerita banyak dari beliau. Mulai terumbu karang di pelabuhan yang semakin hilang, perubahan mata pencaharian masyarakat Derawan, juga semakin berkurangnya jumlah ubur-ubur di Danau Kakaban. Miris ya melihat pariwisata yang semakin menggerogoti dan malah menghancurkan alam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, itu pasti Pak Ading yang sama. Miris :(

      Hapus
  35. baru baca tulisan ini, keren bang + terharu

    BalasHapus
  36. Halo adis. Gmn ya caranya kontek lu personal? Maapkan gw gaptek. Gw suka artikel ini. Ada yg cuma bisa ngomong, ada yg bisa nulis. Adakah yg beraksi secara nyata? Kl ada waktu senggang boleh dong kontek2.

    BalasHapus