Di
suatu pagi yang cerah di Pulau Samosir, Danau Toba, Sumatera Utara.
“Ucoooooook!!
Bangun kau!! Jam 7 sekarang! Sudah siang ini, nanti telat kau pergi sekolah!
Ini adik-adik kau Mamak harus urus juga. Bangun cepatlah kau!”
“Hemm..
Lima menit lagi saja lah, Mamak.”
“Ah,
kau ini pemalas!”
30
menit kemudian..
“UCOOOOOOOK!!!
KAU BELOM BANGUN-BANGUN, HAH?? JANGAN MALAS SEKOLAH LAH KAU UCOK. KAU MAU MACAM
BAPAK KAU, JADI TUKANG OJEK??”
“Hemm..
emang jam berapa ini Mamak?”
“INI
SUDAH JAM SETENGAH DELAPAN TAU!!”
“HAH?
ASTAGA! TELAT AKU!”
Pagi
di Pulau Samosir pun semakin cerah.
Namaku
bukan Ucok, tapi Gunawan. Karena aku dari keluarga Batak, maka panggilan untuk
anak lelaki macam aku ini, Ucok. tapi kadang-kadang aku dipanggil Monyet oleh Mamakku
ketika aku ketauan ngintipin Leli, anak tetangga seumurku yang lagi mandi. Aku
anak sulung dari 5 bersaudara. Usiaku masih 8 tahun dan aku bersekolah di salah
satu SD di Samosir, aku kelas 3. Aku punya 4 orang adik. 3 orang perempuan dan
satu laki-laki, bungsu. Mamak ku galak banget, kalo Mamak sudah marah, semua
orang di rumah pada tutup kuping karena takut gendang telinga pada pecah. Semua
orang, termasuk Bapak.
Bapakku,
sehari-hari bekerja dengan motornya. Bukan, Bapak bukan pembalap moto GP. Bapak
ku adalah tukang ojek paling terkenal di Pulau Samosir. Kenapa Bapakku bisa
terkenal? Karena dulu dia pernah
ngebonceng Presiden Suharto. Iya, beneran. Bapak dengan bangganya sering banget
cerita kalo dia bangga bisa jadi tukang ojek, kata Bapak, itu adalah keputusan
yang paling tepat di dalam hidupnya. Gara-gara jadi tukang ojek akhirnya Bapak
bisa ngebonceng Presiden Suharto saat berkunjung ke Pulau Samosir. Tapi
disela-sela ceritanya, Bapak selalu bilang, keputusan yang paling dia sesali
adalah menikah dengan Mamak. Mamak pun kembali marah besar.
Pagi
ini sama seperti pagi biasanya. Sama kayak orang kota yang tidak suka hari
senin, aku pun tidak suka hari senin. Aku selalu membayangkan, andaikan aku bisa
libur setiap hari, bisa bebas main dan gak harus bangun pagi. Sebenarnya aku
tidak suka sekolah. Buat apa sekolah? Presiden sudah ada, Menteri pun sudah
banyak. Orang-orang di kampungku ini paling-paling nantinya jadi petani, jadi
tukang ojek macam Bapak, atau paling bagus jadi sopir angkot di Kota Medan.
Setiap
hari pun aku harus jalan kaki lumayan jauh buat bisa bersekolah, belum lagi
kalo aku telat bangun seperti sekarang, aku harus lari ke sekolah supaya gak
telat-telat amat. Ya, kadang Bapak nganter aku sih sebelum kerja, tapi itu pun
kalo Bapak bangun pagi.
Oiya,
aku lupa, sekarang pelajaran matematika, Bu Endang. Mati muda aku!
Tok..
tok.. tok..
“Selamat
pagi ibu. Maaf aku terlambat.” Ucapku sambil membuka pintu kelas yang tengah
belajar.
“Bah,
Kau lagi, kau lagi. Sering kali kau terlambat, Gunawan. Kali ini kenapa kau
terlambat? Tolong, jangan bilang kalo kau telat gara-gara terkunci di dalam
kamar mandi lagi!” Bu Endang yang terkenal galak langsung menginterogasiku.
“Eng..
eng.. Tidak bu. Aku tidak terkunci di dalam kamar mandi lagi.” Sebagai siswa
yang pandai berkelit, aku harus mencari alasan baru yang lebih masuk akal. “Eng..
tadi.. tadi aku sebenarnya sudah bangun pagi, kan. Terus aku pun sudah mandi
dan gosok gigi. Pergi dari rumah pun saat matahari belum muncul..”
“Nah,
terus kenapa kau bisa terlambat!?” Bu Endang memotong ceritaku yang belum
selesai.
“Nah,
saking semangatnya pengin belajar, aku langsung pergi ke sekolah, bu. Aku lupa
kalo aku masih pakai handuk. Aku balik lagi lah ke rumahku buat pakai seragam.”
Keluhku.
“BAH!
Macam mana pula kau ini, Gunawan!” Teriak Bu Endang setengah tak percaya dengan
alasanku. Untung sih, masih setengah percaya. “Yasudah, cepat kau duduk. Jangan
lupa kumpulkan PR matematikamu di meja ibu.” Baru beberapa langkah masuk ke
kelas, Bu Endang menyuruhku mengumpulkan PR.
“Hah,
PR?” Mampus, aku lupa.
“Jangan-jangan
kau belum mengerjakannya, Gunawan? Haduuuuh. KELUAR KAU GUNAWAN!” Teriak Bu
Endang ngamuk. Teman-teman sekelasku hanya tertawa terbahak-bahak melihat aku
diusir.
Ya
beginilah nasibku. Gak sekali dua kali aja aku diusir dari kelas, bahkan
sekolah. Terlambat lah, gak ngerjain PR lah, ketauan ngintip toilet cewek lah,
ngintip toilet guru cewek lah, berantem, dan masih banyak lagi. Oiya, khusus
yang terakhir itu, sebagai anak batak sejati, aku memang suka berantem.
Menurutku, anak batak itu harus pandai berantem. Hampir 3 kali seminggu aku
berantem. Itu juga yang bikin aku di juluki “Gunawan Jambak” di sekolah. Ngeri,
kan, julukanku? Gunawan Jambak. Beuh! Aku mendapatkan julukan itu karena sering
berantem dengan Lela, Mutia dan Rini. Trio cewek sok tau.
Karena
tadi aku udah diusir oleh Bu Endang, dan karena aku siswa penurut, aku
memutuskan untuk pulang lagi ke rumah. Ganti baju, terus lanjut main sama
Julius dan Matius, teman mainku di rumah.
Tapi,
di perjalanan menuju rumah, aku bertemu dengan seoraang abang-abang berkacamata
dengan rambut acak-acakan sedang bawa motor. Bawa motornya pun acak-acakan, dia
hampir nabrak aku. Mungkin dia gak tau mana rem mana gas.
“Dek,
tau arah museum gak, dek?” Tanya abang berkacamata itu.
“Museum
apa, bang?” Tanyaku balik.
“Museum
batak, dek. Apa tuh, yang bisa liat tari-tari apa?” Si Abang nanya lagi.
“Tari
apa, Bang?” Aku balik nanya lagi.
“Tari
batak, dek. Itu loh, yang patung bisa nari sendiri.” Si Abang menerangkan
dengan susah payah, tapi aku makin gak ngerti.
“Tari
apa, Bang? Patung apa? Abang siapa?” Aku ketakutan kalo-kalo abang berkacamata
ini adalah sindikat penculik anak yang sedang ramai aku tonton di TV.
“Bentar
Abang ingat-ingat dulu.”
5
menit kemudian..
“Aha!”
“Sudah
ingat, Bang?”
“Abang
masih lupa. Bentar.”
15
menit kemudian..
“Nah!
Patung.. Duh. Susah ingat lagi. Coba kau sebut, ada patung apa aja disini,
dek?” Lama aku nunggu, si Abang malah balik nanya lagi.
“Liberty?”
Jawabku.
“Bukan,
itu mah di Mesir!”